Sabtu, 15 Oktober 2011

Arti Tawassul

Banyak orang salah memahami hakekat tawassul. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan arti tawassul yang benar menurut pandangan kami, dan sebelum itu semua, perlu dijelaskan hal-hal berikut ini:
Pertama: Sesungguhnya Tawassul adalah salah satu cara berdoa dan salah satu cara untuk menghadap kepada Allah SWT. Yang menjadi tujuan sebenarnya adalah Allah SWT. Sedangkan orang yang digunakan untuk wasilah hanya sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Barang siapa yang berkeyakinan selain demikian, maka berarti ia telah berbuat syirik.
Kedua: Orang yang melakukan tawassul, tidak menggunakan perantara ini kecuali karena kecintaannya terhadap perantara tersebut, dan keyakinannya bahwa Allah SWT mencintai perantara. Apabila ada indikasi selain hal tersebut, maka berarti orang yang bertawassul ini orang yang paling jauh dan paling benci terhadap perantara ini.
Ketiga: Apabila orang yang bertawassul berkeyakinan bahwa orang yang dijadikan wasilah kepada Allah SWT ini dapat memberi manfaat dan madharat kepadanya sebagaimana Allah, maka berarti ia telah berlaku syirik.
Keempat: Sesungguhnya tawassul bukanlah suatu keharusan dan juga bukan kewajiban yang harus dilaksanakan. Pada dasarnya, tawassul adalah berdoa kepada Allah secara mutlak, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.” (QS. Al-Baqarah[2]:186) dan dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman, “Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asma’ul husna (nama-nama yang terbaik).” (QS. Al-Isra’[17]:110)
Hal-hal yang Disepakati (Al-Muttafaq Alaih) tentang Tawassul
Semua kaum muslimin sepakat disyareatkannya melakukan tawassul kepada Allah SWT dengan menggunakan amal-amal shaleh. Orang yang berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an, atau sedekah, maka ia menjadikan perantaraan wasilah dengan amal-amal yang dilakukannya tersebut. Bahkan dengan hal tersebut, doa terasa lebih optimis untuk dikabulkan dan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Hal ini tidak diragukan lagi, didasarkan pada hadits tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Salah satu dari mereka menggunakan wasilah kepada Allah SWT dengan kebaikannya kepada orang tuanya. Orang kedua menggunakan wasilah dengan menjauhi dari perbuatan keji meskipun sudah sangat dekat sekali. Dan orang yang ketiga menggunakan wasilah dengan sikap amanatnya dan menjaga harta orang lain serta memberikan harta tersebut sepenuhnya kepada pemiliknya; maka Allah kemudian mengeluarkan mereka dari gua dan melepaskan kesulitannya. Tawassul semacam ini telah dijelaskan oleh Asy-Syeikh Ibnu Taimiyah beserta dengan dalil-dalilnya dalam kitab-kitabnya, khususnya kitab “Qaidah Jalilah fi At-Tawassul wa Al-Wasilah”.

Letak Perbedaaan:
Letak perbedaan pada permasalahan tawassul adalah ketika melakukan tawassul dengan selain amal-amal orang yang bertawassul, seperti ketika melakukan tawassul dengan sosok-sosok tertentu, seperti dengan mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan Nabi Muhammad SAW” atau “Aku bertawassul kepada-Mu dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, atau dengan Umar bin Khatab, atau dengan Ali bin Abi Thalib; tawassul seperti inilah yang dilarang menurut sebagian umat Islam.
Sedangkan kami melihat bahwa perbedaan yang ada hanya bersifat syakli atau zhahirnya saja bukan pada intinya. Karena tawassul ini pada hakekatnya juga seperti tawassulnya orang dengan amal shalehnya, yang sudah disepakai pembolehannya. Andai orang yang melarang keras masalah ini melihat  dengan penuh seksama niscaya akan tampak teranglah permasalahan ini, hilang problematika, dan sirna pula fitnah yang ditimbulkannya yang menimpa sebagian orang dan membuatnya menghukumi kaum muslimin bahwa mereka telah melakukan perbuatan syirik dan sesat.
Berikut ini akan saya jelaskan bagaimana orang yang bertawassul dengan selain amalnya pada hakekatnya seperti bertawassul dengan amal shaleh yang telah dilakukannya.
Saya katakan: ketahuilah, bahwa orang yang melakukan tawassul dengan sosok tertentu, sesungguhnya ia melakukan tawassul tersebut karena ia mencintainya. Jadi, ia meyakini kebaikan, kewalian, dan keutamaan sosok tersebut yang dilandaskan pada sikap prasangka baik kepadanya. Atau, karena ia meyakini bahwa orang ini mencintai Allah SWT dan berjuang di jalan-Nya atau karena orang yang bertawassul meyakini bahwa Allah SWT mencintai orang yang disebut untuk tawassul, sebagaimana firman Allah SWT, “Suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (QS. Al-Maidah[5]:54) atau meyakini semua ini terhadap orang yang dijadikan wasilah.
Apabila Anda renungkan permasalahan ini, niscaya Anda akan melihat bahwa kecintaan dan keyakinan ini temasuk amal shaleh orang yang berwasilah, karena hal tersebut sudah menjadi keyakinan yang ada dalam hatinya; amal ini dinisbatkan kepadanya, dimintai pertanggungjawaban, dan diberi pahala. Seolah-olah ia mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai Fulan, aku yakin bahwa dia mencintai-Mu, dia orang yang ikhlas kepada-Mu dan berjuang di dalam jalan-Mu. Dan, aku juga yakin bahwa Engkau mencintainya, Engkau ridha kepadanya, maka aku bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku terhadap hal ini bahwa Engkau akan melakukan demikian, dan demikian.” Namun, kebanyakan orang yang bertawassul tidak menjelaskan hal ini, dengan menganggap cukup terhadap pengetahuan Dzat yang tidak samar sedikit pun sesuatu bagi-Nya di bumi dan langit, yang Maha Mengatahui apa-apa yang ada dalam hati.
Sedangkan orang yang mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan nabi-Mu.” Dan orang  yang mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepada nabi-Mu.” Adalah sama saja. Karena ungkapan pertama menunjukkan bahwa orang tersebut mengungkapkan hal tersebut hanya karena kecintaannya kepada nabi, dan kepercayaannya kepadanya. Kalau ia tidak mencintainya dan tidak mengimaninya, niscaya ia tidak akan menggunakannya sebagai wasilah. Alasan yang demikian pula yang digunakan pada sosok yang lainnya dari kekasih-kekasih Allah SWT.
Oleh karena itu, tampaklah bahwa perbedaan yang ada pada hakekatnya hanya bentuk luarnya saja, dan tidak semestinya hal ini memicu perselisihan, dan permusuhan dengan menghukumi orang yang bertawassul bahwa ia telah berbuat kufur dan menganggapnya keluar dari Islam. “Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar". (QS. An-Nur[24]:16)

Posted on 22.21 / 0 komentar / Read More

Jumat, 14 Oktober 2011

Doa Kafarah Al Majalis

Doa ini selalu dibaca oleh Rasulullah SAW di dalam sebuah majelis ketika berakhir. Doa ini memiliki faedah menghapus dosa-dosa orang yang hadir dan mengikuti majelis yang bersangkutan baik yang disengaja ataupun tidak disengaja.
Doa ini diambil dari hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Barzah Al Aslami.
Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ’anhu ia berkata: “Jika Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam ketika mengakhiri suatu majelis beliau membaca: Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika “Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagiMu, aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Engkau aku mohon ampun dan bertaubat kepadaMu". Seorang sahabat berkata: “Ya Rasulullah, engkau telah membaca bacaan yang dahulu tidak biasa engkau baca?” Beliau menjawab: “Itu sebagai penebus dosa yang terjadi dalam sebuah majelis.” (HR Abu Dawud 4217)
Posted on 03.23 / 0 komentar / Read More

Rasulullah SAW Berdoa untuk Ummu Salamah Agar Dihilangkan Rasa Cemburunya

Rasulullah SAW berdoa untuk Ummu Al-Mukminin Ummu Salamah RA agar Allah menghilangkan rasa cemburu dari dirinya. Dari istri-istri Rasulullah SAW, hanya Ummu Salamah RA saja yang memiliki keistimewaan ini. Diriwayatkan Muslim dari Ummu Salamah RA bahwa Rasulullah SAW berdoa untuk Ummu Salamah RA agar Allah menghilangkan rasa cemburunya. 
Dari riwayat Ummu Salamah RA yang lain, ia mengatakan, “Ketika Nabi melamarku aku berkata kepada beliau, “Aku memiliki tiga kekurangan, aku sudah tua, memiliki beberapa anak dan aku wanita yang sangat pencemburu.” Kemudian Nabi bersabda, “Mengenai anak-anak, serahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mengenai rasa cemburu, aku akan berdoa kepada Allah agar dihilangkan dari dalam dirimu, dan mengenai umur yang sudah tua, aku lebih tua darimu.” 
Dari riwayat Ummu Salamah RA yang lain yaitu ketika suaminya (Abu Salamah) meninggal dunia dan iddahnya telah selesai, Rasulullah SAW mengkhitbahnya dan ia menjawab, “Wahai Rasulullah, dalam diriku ada tiga hal, yaitu aku wanita yang sudah tua.” Rasulullah SAW bersabda, “Aku lebih tua darimu.” Ummu Salamah RA berkata, “Aku wanita sangat pencemburu.” Rasulullah SAW bersabda, “Aku akan berdoa kepada Allah, sehingga dihilangkan rasa cemburumu.” Ummu Salamah RA berkata, “Wahai Rasulullah, aku wanita yang memiliki anak.” Rasulullah SAW bersabda, “Serahkan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian Rasulullah menikahinya. 
Dari hadits Ahmad yang diriwayatkan dari Ummu Salamah RA bahwasannya Rasulullah SAW ketika mengkhitbah dirinya, ia memberitahukan kepada Nabi tentang tiga sifat yang dimilikinya, diantaranya ia seorang yang sangat pencemburu sehingga Nabi SAW mendoakan agar dihilangkan rasa cemburu itu.

Posted on 02.31 / 0 komentar / Read More

Selasa, 11 Oktober 2011

Ummu Salamah RA

Ummu Salamah RA berperang bersama Rasulullah SAW pada tujuh peperangan. Ummu Salamah RA menjadi contoh bagi wanita-wanita yang beriman agar mengetahui kewajiban mereka dan menunaikannya. Di bawah ini akan saya sebutkan bukti-bukti yang menunjukkan keikutsertaan Ummu Salaman RA dalam beberapa peperangan itu.
1. Perang Al-Murisi’  (Bani Mushthaliq)
Ketika Rasulullah SAW mengetahui bahwa Bani Al-Mushthaliq hendak memerangi beliau, beliau memerangi mereka terlebih dahulu pada bulan Sya’ban tahun 5 H. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW suatu hari berhenti di daerah Al-Murisi’ yaitu (sumber) air, kemudian beliau mendirikan tenda. Dalam peperangan ini Rasulullah mengajak ‘Aisyah RA dan Ummu Salamah RA. Mereka ikut mempersiapkan perang dan mengangkut bawaan seperti seorang laki-laki.
Diriwayatkan juga dalam Shahih Muslim bahwa Ibnu ‘Aun mengatakan, “Aku menulis surat kepada Nafi’ dan bertanya tentang doa apa yang harus dibaca sebelum perang?” Kemudian Nafi membalas suratku, “Sesungguhnya doa yang kamu maksud sudah ada pada permulaan Islam ketika Rasulullah SAW memerangi Bani Al-Mushthaliq.” Pada waktu itu, Bani Al-Mushthaliq dalam kondisi terlena (gharun), saat mereka memberi minum binatang-binatang ternak mereka, Rasulullah SAW (hanya) memerangi orang-orang yang diperbolehkan diperangi, dan menawan mereka lalu menjadikannya sebagai budak.”
2. Perang Al-Khandaq (Al-Ahzab) 
Ummu Al-Mukminin Ummu Salamah RA, menemani Rasulullah di perang Al-Khandaq (Parit) pada tahun 5 H. Dalam perang ini, pasukan Rasulullah sampai di kaki gunung Sila’, yaitu sebuah gunung di atas kota Madinah. Pasukan Rasulullah membelakangi Sila’ dan parit berada diantara Rasulullah dan kaum (musuh). Tenda dari kulit didirikan untuk Rasulullah SAW kemudian beliau duduk diantara ketiga istri beliau yaitu ‘Aisyah, Ummu Salamah dan Zaenab binti Jakhsy.
Pada perang ini, Ummu Salamah RA tidak berpangkutangan, akan tetapi ia membantu Rasulullah SAW. Diriwayatkan dalam sebuah hadits secara terperinci tentang apa yang dilakukan orang-orang muslim dalam perang Al-Khandaq.
Ummu Salamah RA menceritakan bahwa Rasulullah SAW mengulang-ulang doa pada perang Al-Khandaq. Ummu Salamah mengatakan, “Aku tidak pernah melupakan apa yang diucapkan Rasulullah SAW pada perang Al-Khandaq ketika beliau membagikan susu kepada pasukan dan bulu-bulu dada beliau lusuh penuh debu. Beliau SAW berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya (sebenar-benar) kebaikan adalah kebaikan akhirat, maka ampunilah orang-orang Anshar dan Muhajirin.”
3. Perang Bani Quraidhah
Ummu Al-Mukminin Ummu Salamah RA, juga menemani Rasulullah SAW pada perang melawan Bani Quraidhah.  Hal itu terjadi ketika Rasulullah SAW pulang dari perang Khandaq menuju Madinah. Ketika itu Rasulullah SAW menaruh senjata dan mandi, kemudian datanglah malaikat Jibril dan berkata, “Engkau letakkan senjatamu (Muhammad)? Demi Allah (jika aku menjadi engkau), aku tidak akan meletakkannya. Keluarlah engkau (Muhammad) kepada mereka.” Nabi bertanya, “Kemana wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Ke sana!” Jibril menunjuk ke arah Bani Quraidhah. Lalu Nabi SAW pergi ke Bani Quraidhah untuk memerangi mereka.
4. Peperangan Al-Hudaibiyah
Ummu Al-Mukminin Ummu Salamah RA, menemani Rasulullah SAW dalam peperangan Al-Hudaibiyah.  Ummu Salamah RA merupakan teman musyawarah yang bijaksana bagi Rasulullah SAW di Hudaibiyah. Hal itu terjadi ketika Rasulullah SAW memasuki tenda Ummu Salamah RA dalam keadaan marah, karena para sahabat beliau tidak mentaati perintah untuk menyembelih binatang kurban kemudian bercukur, yaitu amalan yang menyebabkan seseorang diperbolehkan melepaskan pakaian ihram. Kemudian Ummu Salamah RA menganjurkan kepada Rasulullah agar beliau melakukan penyembelihan hewan terlebih dahulu.
5. Perang Khaibar
Ummu Al-Mukminin Ummu Salamah RA, juga menemani Rasulullah SAW pada perang Khaibar yang terjadi pada tahun 7 H. Pada perang Khaibar, Rasulullah SAW pergi bersama istri beliau Ummu Al-Mukminin Ummu Salamah RA.
Diriwayatkan dari Abdullah Bin Baridah dari ayahnya, ia menyatakan bahwa Ummu Salamah RA ikut berperang pada perang Khaibar. Ketika itu Ummu Salamah RA mengatakan, “Aku mendengar suara pedang mengenai beberapa gigi Marhab.”  
6. Fathu Makkah (Terbukanya Kota Makkah)
Rasulullah SAW pergi menyerang kota Makkah Al-Mukaramah pada tahun 8 H. Adapun yang menyebabkan beliau menyerang Makkah adalah orang-orang kafir Quraisy yang mengingkari perjanjian Al-Hudaibiyah, yaitu perjanjian antara Rasulullah SAW dengan orang-orang Quraisy.
Terjadi peperangan antara Bani Bakar –sekutu Quraisy- dan Khaza’ah –sekutu Rasulullah SAW-, dan dalam peperangan itu, orang Quraisy membantu sekutunya dan menyerang Khaza’ah. Peristiwa tersebut terdengar oleh Rasulullah SAW sehingga beliau bersabda, “Demi Allah yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, aku akan sungguh-sungguh melarang mereka dari apa yang jiwa dan ahli baitku dilarang.”
Yang menunjukkan bahwa Ummu Salamah RA menemani Rasulullah SAW dalam fath Al-Makkah adalah keislaman Abu Sufyan bin Al-Harits dan Abdullah bin Umayyah. Ibnu Ishaq mengatakan, “Abu Sufyan dan Abdullah berada di Nabq Al-‘Iqab daerah antara Makkah dan Madinah, lalu keduanya memohon untuk bertemu Rasulullah SAW. Kemudian Ummu Salamah RA menyampaikan kepada Nabi tentang maksud keduanya (Abu Sufyan dan Abdullah) dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, anak pamanmu dan anak bibimu sekaligus iparmu (ingin bertemu).” Nabi berkata, “Aku tidak membutuhkan mereka, anak pamanku telah merusak nama baikku. Adapun anak bibi sekaligus iparku, dialah yang mengatakan kepadaku apa yang telah ia katakan (fitnahkan) di Makkah.” Ibnu Ishaq selanjutnya mengatakan, “Setelah jawaban Nabi tersebut disampaikan kepada keduanya, Abu Sufyan yang ketika itu bersama anaknya mengatakan, “Demi Allah, izinkanlah aku (bertemu) atau aku ajak anakku ini, kemudian kami pergi ke tanah lapang (padang pasir) sehingga kami mati kehausan dan kelaparan.” Ketika hal itu sampai kepada Rasulullah, beliau kasihan kepada keduanya dan mengijinkan mereka bertemu. Setelah pertemuan tersebut, keduanya menyatakan diri memeluk agama Islam.”
7. Perang Thaif
Perang Thaif terjadi pada tahun 8 H. Sebab terjadinya perang Thaif adalah Rasulullah mengetahui bahwa Malik bin ‘Auf dan beberapa orang bangsawan dari golongan mereka, mengadakan pertemuan di Thaif, setelah kekalahan mereka dari Rasulullah SAW pada perang Hunain.
Dalam perang ini ada dua istri Nabi SAW ikut, salah satunya Ummu Salamah RA. Kemudian Rasulullah SAW mendirikan dua tenda untuk keduanya dan Rasulullah SAW shalat diantara dua tenda tersebut.
Ketika Rasulullah SAW memasuki tenda Ummu Salamah RA dan di sebelahnya terdapat saudara laki-laki Ummu Salamah yaitu Abdullah dan seorang laki-laki yang bergaya perempuan (banci). Kemudian banci tersebut berkata, “Wahai Abdullah, jika besok Allah memberikan kemenangan di Thaif, maka anak perempuan Ghailan menjadi bagianmu. Ia menerima empat dan menolak depalan.”
Setelah melihat beberapa buku sejarah yang menerangkan tentang peperangan, tidak ditemukan bahwa Ummu Salamah RA terlibat dalam peperangan setelah Rasulullah wafat. ia menetap dan tinggal di Madinah dan mengajar orang-orang yang ingin belajar tentang agama Islam.
Saya yakin –Wallahu A’lam bi Ash-Shawab- bahwa Ummu Salamah RA tidak terlibat dalam perang, karena mengikuti perintah Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah RA, Rasulullah SAW pada haji Wada’ mengatakan, ”Sesungguhnya ia (Ummu Salamah) sekarang ini menunaikan ibadah haji, dan setelah itu ia akan tinggal di rumah.”

Posted on 18.23 / 0 komentar / Read More
 
Copyright © 2011. Azhari Limited . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map